Baleg Minta Masukan PMI, BNPB, Basarnas Terkait RUU Lambang Palang Merah

22-05-2012 / BADAN LEGISLASI

            Badan Legislasi (Baleg) DPR RI mengundang Ketua PMI Jusuf Kalla, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Kepala Badan SAR Nasional (Basarnas) untuk mendapatkan masukan terkait penyusunan RUU tentang Lambang palang Merah.

            Dalam rapat dengar pendapat umum, Selasa 22/5, yang dipimpin Wakil Ketua Baleg Anna Mu’awanah mengatakan, RUU tentang Lambang Palang Merah merupakan salah satu RUU yang menjadi Program Legislasi Nasional (Prolegnas) RUU Prioritas Tahun 2012.

            Anna mengatakan, RUU ini sudah sangat diperlukan mengingat untuk melaksanakan kegiatan kemanusiaan negara membentuk perhimpunan nasional yang menggunakan lambang palang merah sebagai tanda pelindung dan tanda pengenal.

            Selain itu sebagai tindak lanjut telah diratifikasinya Konvensi Jenewa Tahun 1949 dengan UU No. 50 Tahun 1958 yang mengatur tentang keikutsertaan Negara Republik Indonesia dalam seluruh Konvensi Jenewa tanggal 12 Agustus 1949 mewajibkan negara untuk menerapkannya dalam sistem hukum nasional.

Selama ini, kata Anna, pengaturan mengenai lambang palang merah dalam kegiatan kemanusiaan belum diatur dalam suatu undang-undang. Untuk itu, masukan dari beberapa narasumber ini sangat diperlukan dalam rangka penyempurnaan draft RUU yang sedang dipersiapkan Badan Legislasi.

Anna menambahkan, secara garis besar, RUU Palang Merah ini bertujuan untuk meratifikasi, aksesi atau pengaturan mengenai perlindungan kemanusiaan dalam masa perang maupun masa damai sesuai dengan Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan.

RUU ini juga mengatur mengenai gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah untuk mencapai kegiatan-kegiatan kepalangmerahan yang memiliki misi kemanusiaan berdasarkan prinsip-prinsip dasar yang diakui gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional.

Selain itu, juga mengatur mengenai lambang serta penggunaan lambang Palang Merah atau Bulan Sabit Merah.

Dalam memberikan masukannya Ketua Umum PMI Jusuf Kalla mengatakan, lambang palang merah sebagai tanda pengenal dan tanda pelindung mempunyai suatu tatanan konsekwensi yang sangat luas karena menyangkut hubungan dengan internasional, menyangkut keselamatan dan menyangkut upaya-upaya bersama untuk mengatasi masalah.

Palang Merah Indonesia sangat concern terbitnya UU ini yang tujuannya untuk memberikan perlindungan dan apabila terjadi dalam keadaan darurat baik di dalam negeri atau internasional.

Jusuf Kalla mengatakan, setiap negara sesuai dengan Konvensi Jenewa hanya boleh memakai satu lambang, tidak boleh memakai kedua-duanya. Karena mempunyai konsekwensi yang sangat fatal dalam keadaan perang.

Apabila Indonesia memakai palang merah sebagai lambang kepalangmerahan, maka semua tentara Indonesia yang pada saat perang memakai tanda palang merah, dia tidak boleh menembak dan ditembak.

Sementara Kepala BNPB Syamsul Ma’arif mengatakan dia setuju lambang itu cukup satu saja supaya tidak bingung. Dan dia berpendapat perlu adanya simbol yang dapat disepakati secara internasional.

Namun yang perlu menjadi pemikiran, bagaimana agar lambang Palang Merah itu tidak disalahgunakan. Di sini perlu dipikirkan agar setiap orang tidak dengan mudahnya diberikan lambang tersebut. Misalnya seperti jaket berlambang palang merah dan sebagainya.

Kepala Biro Hukum Basarnas Agung Prasetyo dalam memberikan masukannya mengatakan, pada prinsipnya Basarnas mendukung terhadap isi dan substansi yang diatur dalam naskah akademis dan RUU Lambang Palang Merah ini karena telah sejalan dengan tugas dan fungsi Basarnas dalam melaksanakan operasi SAR terhadap musibah dan/atau bencana.

 Basarnas memberikan beberapa catatan yang perlu ditambahkan dalam RUU Lambang palang Merah ini yaitu dalam Bab 1 Ketentuan Umum perlu didefinisikan juga tentang musibah karena definisi musibah dan bencana sangat berbeda.

Definisi bencana yang sudah ada dalam RUU ini mengadop dari UU No. 24/2007 tentang penanggulangan Bencana. Definisi tersebut belum mencakup kejadian-kejadian yang terjadi akibat dari transportasi laut dan udara yang dikategorikan sebagai musibah.

Untuk itu, katanya, perlu didefinisikan musibah pelayaran dan/atau penerbangan adalah kecelakaan yang menimpa kapal dan/atau pesawat udara dan tidak dapat diperkirakan sebelumnya serta dapat membahayakan atau mengancam keselamatan manusia.

Agung mengatakan, sebaiknya istilah bencana diganti dengan musibah dan/atau bencana. Kalau hanya bencana maka akan mempersempit wilayah tugas dari PMI itu sendiri. Karena pada kenyataannya PMI juga turut serta dalam membantu tugas SAR pada musibah baik itu penerbangan maupun pelayaran. Sebagai contoh musibah yang baru saja terjadi kecelakaan Sukoi Super Jet 100 yang terjadi di Gunung Salak.

Selain itu, dalam Pasal 27 ayat (1) perlu dicantumkan juga organisasi pemerintah/instansi pemerintah sebagai salah satu organisasi yang dapat bekerjasama dengan PMI. (tt) foto:wy/parle     

BERITA TERKAIT
Revisi UU Minerba, Demi Kemakmuran Rakyat dan Penambangan Berkelanjutan
25-01-2025 / BADAN LEGISLASI
PARLEMENTARIA, Jakarta - Anggota Badan Legislasi DPR RI, Edison Sitorus, menyampaikan pandangannya mengenai revisi Undang-Undang Mineral dan Batu Bara (UU...
RUU Minerba sebagai Revolusi Ekonomi untuk Masyarakat Bawah
23-01-2025 / BADAN LEGISLASI
PARLEMENTARIA, Jakarta – Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Aqib Ardiansyah menilai filosofi dasar dari penyusunan RUU tentang Perubahan Keempat...
RUU Minerba: Legislator Minta Pandangan PGI dan Ormas soal Keadilan Ekologi
23-01-2025 / BADAN LEGISLASI
PARLEMENTARIA, Jakarta – Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Muhammad Kholid mengapresiasi masukan yang disampaikan Persatuan Gereja Indonesia (PGI) terkait...
RUU Minerba Jadi Perdebatan, Baleg Tegaskan Pentingnya Mitigasi Risiko
23-01-2025 / BADAN LEGISLASI
PARLEMENTARIA, Jakarta – Deputi Eksternal Eksekutif Nasional WALHI, Mukri Friatna, menyatakan penolakan terhadap wacana perguruan tinggi diberikan hak mengelola tambang...